Feb 21, 2018

Mata Buram Pulang dari Curug Sawer

05:43 Taoca, sudah bangun?

Dengan mata mengantuk aku kirim whatsapp tersebut ke grup percapakapan TMG Belum Tamat, nama grup yang berarti Tetangga Masa Gitu belum selesai. Sebuah serial televisi di salah satu televisi nasional yang kami rasa kondisinya mirip sekali dengan kehidupan bertetangga kami namun sudah berhenti tayang.

Beberapa menit kemudian notifikasi pesan baru dari grup muncul. Rupanya Sita dan Bayu sudah bangun. Pagi ini kami memang janji ingin main ke Curug Sawer di daerah Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Sengaja kami berencana berangkat pagi, agar udara disana masih segar dan matahari belum terlalu terik. Jadi walau pun semalam kami pulang larut sebab bertemu dengan Puput, seorang teman yang liburan ke Bandung sekaligus untuk menghadiri acara pernikahan temannya, kami tetap harus bergegas untuk berangkat. Menyiapkan perbekalan adalah salah satu yang terpenting, sebab selain lebih sehat juga lebih hemat 😋.

Menghindari lalu lintas yang mungkin padat, kami memutuskan untuk menggunakan sepeda motor. Sekitar pukul 6:30 Sita dan Bayu sudah sampai di rumah kami, dan bersiap untuk menuju Curug Sawer bersama-sama. Oia, rumah kami hanya terpisah dua blok saja, jadi kami sudah seperti ban mobil, kemana-mana sering berempat.


Perjalanan kami pagi itu terbilang cukup lancar, tiba di kawasan wisata yang dikelola oleh Perhutani ini sekitar pukul 8:30. Di pintu gerbang ada petugas retribusi kawasan Curug Sawer, untuk setiap orang akan diminta membayar sebesar Rp 7500,- dan Rp 2500,- untuk sepeda motor. Oia, sebelum masuk ke kawasan Wana Wisata, di sebelah kiri terdapat bangunan radio milik pemerintah Belanda pada zaman penjajahan. Saat ini bangunan tersebut sudah tidak digunakan namun masih dibiarkan berdiri. Oleh karena itu pula, lingkungan sekitar bangunan tersebut disebut dengan Kampung Radio.

Kembali ke perjalanan hiking kami, setelah melewati sebuah jembatan kecil, area kiri terdapat hammock yang dapat dicoba oleh pengunjung. Sayang kami tidak sempat mencoba sehingga kurang tahu apakah ada biaya tambahan untuk pengunjung yang ingin merasakan sensasi bersantai di hammock


Jalanan menuju puncak, terbilang cukup bagus karena dapat dilalui oleh kendaraan roda dua bahkan roda empat. Namun tetap saja harus saat berhati-hati karena medan yang kadang cukup terjal dan bagian tepi yang cukup curam. Bukan hanya pengendara saja, tetapi pejalan kaki seperti kami juga perlu ekstra hati-hati terhadap lalu lintas kendaraan, khususnya roda dua. Dari informasi yang kami peroleh rupanya seringnya kendaraan roda dua yang melintas disebabkan terdapat pemukiman warga di puncak bukit tersebut, yaitu Desa Karangtanjung.


Saat perjalanan turun kami menyempatkan mampir ke Curug Sawer yang memang menjadi daya tarik utama dari kawasan tersebut. Akses menuju curug terbilang masih sangat alami, sebab hanya berupa jalan setapak. Wilayah curug juga tidak terlalu besar, namun air disana saat sejuk hingga membuat kami tidak tahan untuk beristirahat sejenak sambil bermain air. Kebetulan sedang ada beberapa anak (yang menurut kami sepertinya warga lokal) yang sedang bermain disitu, sesekali mereka melompat ke air dari batu besar di sisi air terjun. Kucuran air terjun tidak terlampau deras, sehingga untuk berenang di bawah aliran tersebut cukup aman. Namun, namanya bermain di alam bebas kita harus tetap waspada untuk masalah keselamatan. Satu lagi, jangan buang sampah sembarangan! Kalau membawa minuman atau makanan dalam kemasan plastik atau apa pun yang sulit terurai, simpan dulu bekas kemasannya sampai kalian menemukan tempat sampah. Jahat sama alam, dampaknya akan kita sendiri yang merasakan, so ayo tertib dari diri sendiri.


Sudah segar bermain air di Curug Sawer kami kembali ke titik awal tempat kami memarkir kendaraan. Beberapa dari kami berganti baju, karena sudah basah keringat dan di curug tadi. Perut kami sudah sangat lapar, jadi sebelum kembali kami sepakat untuk mampir makan ikan bakar dan bayi lobster di daerah Rancapanggung. Ada salah satu restoran yang memang sudah menjadi kegemaran kami, yaitu restoran Famili, dari arah curug letaknya di sebelah kiri jalan.

Tiba di resto, *JENG JENG*, saya menyadari sesuatu.. Kacamata yang tadi berada di saku jaket sudah tidak ada. Sad bingits pemirsa! Sambil mengingat-ingat, dugaan sementara kacamata itu mungkin jatuh di area parkir curug sebab disana saya sempat bertukar kacamata. Terpaksa makan ikan sambil nyureng-nyureng ini sih :( Kesedihan jadi bertambah waktu tahu, bayi lobsternya sedang kosong karena cuaca yang sedang kurang bagus sehingga tangkapan pun sedikit sekali. 

Perut sudah berontak, jadi kami lekas memilih menu untuk disantap. Satu katel nasi liwet, empat ekor ikan, tahu, tempe, lalap, sambal, es kelapa, dan soda gembira jadi pilihan kami. Tips saat datang ke lokasi ini adalah sabar, sebab ikan akan dibakar dadakan saat ada pelanggan. Jadi, jangan tidak sabar menunggu karena percayalah penantianmu tidak akan sia-sia. Sambalnya, nikmat! Ikan bakarnya, lezat! Dan yang paling menghibur, makan berempat sampai perut super kenyang hanya Rp 158.000,- saja. Terakhir dan paling penting, perut kenyang harus cepat dibawa pulang, kalau tidak keburu tidur di restoran 😂 

Sampai jumpa di cerita TMG Belum Tamat #ExploreBandungBarat selanjutnya.

Salam,
AK

No comments: