Jan 25, 2013

Rengganis


Malam, sahabat bagi seorang gadis  yang nekat mengadu nasib di ibukota.
Rengganis.
Ia menyenangi sepi tanpa ada kecuali.
Sosok ayu khas orang-orang kejawen, terpancar dari sorot mata gadis tanpa kata ini.
Bukan ibu atau ayahnya yang membuatnya benci akan keramaian
Dunianya hitam.
Kakinya yang membawa dia kemari, tangannya yang menuntunnya melangkah.
"Dimana seharusnya aku berada?"

Pagi, belum pernah dikenal olehnya.
Bahkan Rengganis mungkin hanya punya rekaan atas sosok mentari.
Embun yang meyakinannya bahwa pagi itu ada.
Ia akan menyentuh daun dari tanaman yang tumbuh di kebun rumah penampungannya.
Begitu pekanya, sehingga ia tahu mana air embun dan mana air sisa hujan semalam.
"Apa kamu dapat merasakannya?"

Rengganis, 27 tahun silam ia lahir ke dunia ini dengan normal.
Sepasang kaki, tangan, telinga, dan mata lengkap dengan bulu mata yang lentik.
Malam bagi Rengganis dimulai dari hari kelahirannya.
Tuhan memulai pelajaran hidup pertama untuk Rengganis,
dengan membutakan kedua bola matanya.
Tangisan saat ia terlahir pun merupakan tangisan terakhirnya.
"Mengapa harus Rengganis?"

Tidak kamu, saya, atau seorang hamba pun yang luput dari kasih sayang-Nya.
Rengganis satu dari yang Dia istimewakan.
Hidup bagi Rengganis adalah ketenangan, karena gelap seolah malam akan membuatmu selalu terjaga.
Singkatkan bagian-bagian mengurai kesedihan serta putus asa.
Cermin adalah jauh di dalam mata Rengganis.

No comments: