Malam, sahabat bagi
seorang gadis yang nekat mengadu nasib
di ibukota.
Rengganis.
Ia menyenangi sepi
tanpa ada kecuali.
Sosok ayu khas
orang-orang kejawen, terpancar dari
sorot mata gadis tanpa kata ini.
Bukan ibu atau
ayahnya yang membuatnya benci akan keramaian
Dunianya hitam.
Kakinya yang membawa
dia kemari, tangannya yang menuntunnya melangkah.
"Dimana
seharusnya aku berada?"
Pagi, belum pernah
dikenal olehnya.
Bahkan Rengganis
mungkin hanya punya rekaan atas sosok mentari.
Embun yang
meyakinannya bahwa pagi itu ada.
Ia akan menyentuh
daun dari tanaman yang tumbuh di kebun rumah penampungannya.
Begitu pekanya,
sehingga ia tahu mana air embun dan mana air sisa hujan semalam.
"Apa kamu dapat
merasakannya?"
Rengganis, 27 tahun
silam ia lahir ke dunia ini dengan normal.
Sepasang kaki,
tangan, telinga, dan mata lengkap dengan bulu mata yang lentik.
Malam bagi Rengganis
dimulai dari hari kelahirannya.
Tuhan memulai
pelajaran hidup pertama untuk Rengganis,
dengan membutakan
kedua bola matanya.
Tangisan saat ia
terlahir pun merupakan tangisan terakhirnya.
"Mengapa harus
Rengganis?"
Tidak kamu, saya,
atau seorang hamba pun yang luput dari kasih sayang-Nya.
Rengganis satu dari
yang Dia istimewakan.
Hidup bagi Rengganis
adalah ketenangan, karena gelap seolah malam akan membuatmu selalu terjaga.
Singkatkan
bagian-bagian mengurai kesedihan serta putus asa.
Cermin adalah jauh
di dalam mata Rengganis.
No comments:
Post a Comment