Aug 9, 2012

Terdiam Tanpa Rasa Kalah.


A
ku menyebut ini sebuah perjuangan.
Percayalah, bergulat dengan logika sendiri jauh lebih melelahkan dibanding sebuah pertandingan beladiri.
Kau luruskan yang kau anggap salah, dan begitu pula sebaliknya.
Tidak ada yang bisa memasuki alam pikir dan sadar ini selain diri kita sendiri.

Separuh tahun ini aku habiskan merenda sebuah kepercayaan.
Rasa aman dan terjaga oleh sebuah selimut rahasia.
Beberapa waktu lalu rasa itu sempat menyerpih hingga mendebu.
Tak hingga rasanya aku menangis.
Masa dimana dibangunku, aku menemukan tetes air mata di bantal merah mudaku.
Bahkan ditidurku pun aku menangis.

Sempat aku terhanyut, larut, dan seolah tidak terpisahkan dengan putus asa.
Benih itu selalu berujung pada titik akhir.


Ya, akhir dari usia. Selalu saja ingin menutup lembaran cerita ini lebih awal.
Menentang kehendak Sang Maha.

Aku mendekam, tidak lama.
Aku beranjak mengejar dua, tiga langkah yang tertinggal.
Aku berjalan dengan setampuk bayang hitam di kananku.
Bayang yang mampu menyatu dalam nafas.
Bayang yang berdetak bersama jantungku.
Bayang yang terikat dalam setiap sel darahku.

Repost from: My Multiply