Aug 9, 2012

Kita, Mata dan Telinga.

Setelah hampir sebulan, akhirnya hari ini aku berani menatap tumpukan kisah lama yang belum sempat aku koreksi. Aku terlalu takut menemukanmu lagi disana.
Setiap warna yang kupilih untuk menuliskan kisah kita memiliki makna dan kenangan tersendiri.


Kisah kita dua tahun ke lalu, kini jadi sesosok bayangan yang paling aku takuti.

Ibarat tubuh, ia sudah terlalu besar.
Bahkan saat berdiri dibelakangnya, badan aku pun tertutupi bayangan itu.
Apa kamu merasakan ketakutan yang sama?


Hari ini sebut saja aku nekat.Aku ambil buku kita, lalu kubaca lagi halaman demi halaman.Andai ini mimpi, rasanya aku tidak ingin ibu masuk ke kamar lantas membangunkan aku dari mimpi yang begitu indah ini.

Sesekali aku tersenyum membaca cerita kita.
Saat marah, aku menuliskannya dengan tinta merah dan huruf-huruf kapital.
Tapi bagian itu tidak banyak.
Hanya tinta biru dan merah muda yang sering kupakai, sebab aku tidak tahan berlama-lama marah denganmu.

Baru setengah, aku lantas menyimpan sejenak buku kita dan beralih ke depan laptop untuk menulis.
Ya, mungkin kamu masih ingat.
Aku sangat akrab dengan menulis, dan aku pun masih ingat kalau kamu adalah seorang pendengar yang baik.
Sadar gak kamu, sebenarnya kita bisa jadi pasangan yang hebat.
Aku yang jadi mata dan kamu telinganya.


Kesenanganku terhadap membaca juga tertuang padamu.
Kamu adalah buku bacaan kegemaranku.
Beda dengan aku yang baku.
Kamu orangnya lebih dinamis.
Tuhan menitipkanmu telinga yang sensitif, begitu peka.
Apakah aku ini suara yang gemar kau dengarkan?


Kita terlalu sibuk dengan indera yang kita punya.
Aku terlalu fokus membaca dan mungkin kurang mendengarkanmu.Kamu pun sama, terlalu larut mendengarkanku lantas luiput membaca raut wajahku.Apakah ini tanda ketidaksempurnaan?

Dari setengah kisah di buku kita, aku tersadar.
Bahwa Tuhan mungkin sengaja memberiku telinga dan itu kamu.
Supaya aku tidak selalu tertunduk dan menyendiri di pojok ruangan untuk sekedar membaca.
Dia ingin aku mendengar alunan suara indah yang Ia ciptakan.
Kalau Tuhan memberiku mata, lantas apa jaminan kita bisa saling membaur?
Mungkin kita akan berdiri di pojok ruangan yang sama, tapi sibuk dengan buku kita masing-masing.

Saat ini aku sedang berdiri sendirian di sebuah perempatan jalan.
Aku membaca setiap petunjuk jalan yang ada, agar tahu arah mana yang harus dipilih.
Tapi aku tidak mendengar apa-apa.
Suara-suara itu terlalu pelan untuk pendengaranku yang tidak peka.

Arah mana yang harus aku pilih?
Tolong jangan bicara terlalu jauh, karena telingaku kini sudah pergi.

Repost from: My Multiply